BLOGGER KALTENG (Desa Tanjung Jariangau) - Tepat sehari setelah lebaran Idul Fitri 1438 H saya pulang kampung ke Desa Tanjung Jariangau, Kecamatan Mentaya Hulu (Kuala Kuayan), Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) dengan menggunakan kendaraan umum berupa Bus Mini yang hanya memuat sekitar 10 penumpang. Jasa travel dari Kota Palangka Raya ini hanya sampai pada Kecamatan Parenggean, selanjutnya perjalanan menggunakan kandaraan roda dua.
Agenda pulang kampung saya kali ini banyak menggali hal-hal tentang sektor pertanian dari berbagai lapisan masyarakat. Sejak dulu di desa Tanjung Jariangau dan sekitarnya seperti Bawan, Tukang Langit, Sangai, Rantau, Mangkup dan desa-desa sekitarnya sudah mempunyai tradisi berladang dengan sistem sawah tadah hujan atau ladang berpindah.
Namun, saat ini ladang berpindah hampir tidak ada lagi, karena lahan yang sudah tidak tersedia. Lahan-lahan yang dulu cukup banyak kini sudah dikuasi oleh korporasi, sehingga masyarakat memilih untuk mengolah kembali lahan yang sebelumnya mereka gunakan untuk berladang.
Walaupun sudah pernah diupayakan untuk mencabut tunggul-tunggul namun tidak mampu karena ukurannya yang besar. Setidaknya pemerintah harus mencari solusi dan mengkaji ulang, apakah dengan menciptakan traktor khusus untuk mencabut tunggul atau dengan menciptakan bahan kimia untuk membusukkannya.
Rahmat Nasution Hamka juga mengusulkan adanya pilot projetc tentang Cetak Ladang ini di daerah atau kawasan tertentu, yang benar-benar serius dijalankan. Sehingga tidak ada lagi istilah pemerintah melarang, masyarakat kucing-kucingan. Walaupun sekarang semua mudah untuk dipantau oleh aparat. Hal ini juga karena keterpaksaan, jika tidak dibakar maka padi tidak akan bisa tumbuh subur. Karena proses membakar lahan itu gunanya untuk menyuburkan tanah, dan ini merupakan cara yang mudah, murah dan menghemat waktu dalam pengerjaanya.
***
Debu Yandi
Blogger Kalteng
Agenda pulang kampung saya kali ini banyak menggali hal-hal tentang sektor pertanian dari berbagai lapisan masyarakat. Sejak dulu di desa Tanjung Jariangau dan sekitarnya seperti Bawan, Tukang Langit, Sangai, Rantau, Mangkup dan desa-desa sekitarnya sudah mempunyai tradisi berladang dengan sistem sawah tadah hujan atau ladang berpindah.
Namun, saat ini ladang berpindah hampir tidak ada lagi, karena lahan yang sudah tidak tersedia. Lahan-lahan yang dulu cukup banyak kini sudah dikuasi oleh korporasi, sehingga masyarakat memilih untuk mengolah kembali lahan yang sebelumnya mereka gunakan untuk berladang.
Menarik menurut saya jika kita mencoba mengulas kembali pernyataan salah satu Anggota DPR RI Komisi IV, Rahmat Nasution Hamka dalam rapat kerja DPRRI dan Kementerian Pertanian yang membahas APBN Perubahan 2017 dan APBN 2018, di Jakarta (12/6/17) yang mengusulkan harus ada perlakuan khusus bagi masyarakat di Kalimantan, terkait program ketahanan pangan.Perlakuan khusus yang di maksud adalah dibanding cetak sawah, daerah pedalaman di Kalimantan Tengah lebih cocok untuk proyek cetak ladang. Maka dalam hal ini bila ada bantuan alat pertanian harus relevan dengan kebutuhan masyarakat peladang. Misalkan, jika memberikan bantuan berupa traktor harus mampu mencabut tunggul-tunggul.
Walaupun sudah pernah diupayakan untuk mencabut tunggul-tunggul namun tidak mampu karena ukurannya yang besar. Setidaknya pemerintah harus mencari solusi dan mengkaji ulang, apakah dengan menciptakan traktor khusus untuk mencabut tunggul atau dengan menciptakan bahan kimia untuk membusukkannya.
Rahmat Nasution Hamka juga mengusulkan adanya pilot projetc tentang Cetak Ladang ini di daerah atau kawasan tertentu, yang benar-benar serius dijalankan. Sehingga tidak ada lagi istilah pemerintah melarang, masyarakat kucing-kucingan. Walaupun sekarang semua mudah untuk dipantau oleh aparat. Hal ini juga karena keterpaksaan, jika tidak dibakar maka padi tidak akan bisa tumbuh subur. Karena proses membakar lahan itu gunanya untuk menyuburkan tanah, dan ini merupakan cara yang mudah, murah dan menghemat waktu dalam pengerjaanya.
Tentang larangan membakar lahan, masyarakat dayak di Kalimantan Tengah sebenarnya siap untuk menaati dan masyarakat dayak sesungguhnya adalah masyarakat yang taat hukum, namun harus ada solusi yang diberikan selain dengan metode membakar lahan untuk menyuburkan tanah.Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat itu sangat mengapresiasi usulan tersebut, secara langsung beliau meminta Balitbang Pertanian agar dapat menindaklanjutinya. Jika usulan-usulan di atas dapat dijalankan dengan baik maka permasalahan Karhutla selama ini akan dapat dikendalikan dan diselesaikan karena ada alternatif yang bisa dilakukan masyarakat dengan bantuan dan solusi dari pemerintah. Harapannya, program Cetak Ladang menjadi solusi bagi petani di Kalimantan Tengah di masa depan.
***
Debu Yandi
Blogger Kalteng