BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al quran adalah mukjizat bagi umat islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw untuk disampaikan kepada umat manusia. Al Quran sendiri dalam proses penurunannya mengalami banyak proses yang mana dalam penurunannya itu berangsur-angsur dan bermacam-macam nabi menerimanya. Sebagaimana dalam perjalanan pembukuan al Quran yang banyak mengalami hambatan sampai banyaknya para penghafal al quran yang meninggal, maka dalam proses aplikasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya juga sangat banyak kendalanya. Kita mengenal turunnya al quran sebagai tanggal 17 Ramadhan. Maka setiap bulan 17 Ramadhan kita mengenal yang namanya Nuzulul Quran yaitu hari turunnya al Quran. Dalam penurunan al Quran terjadi di dua kota yaitu Madinah dan Mekkah. Surat yang turun di Mekkah disebut dengan Makkiyah sedangkan surat yang turun di Madinah disebut dengan surat Madaniyah. Dan juga dalam pembedaan itu terjadi banyak perbedaan antara para ahli Quran apakah ini surat Makkiyah atau surat Madaniyah. Maka dari permasal;ahan diatas tercetus dalam benak kami ingin mengulas tentang Nuzulul Quran sejarah turunnya Al-Quran. Maka untuk itu pertanyaan ini akan mengantarkan pembahasan kami tentang turunnya al-Quran.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Asbabul Nuzul Al-Qur’an ?
2. Bagaimanakah perhatian para ulama tentang asbab al nuzul Al Qur’an ?
3. Bagaimanakah pedoman memahami Asbab Al Nuzul Al Qur’an ?
4. Definisi sebab Al Nuzul ?
5. Apa saja faedah Asbabun Nuzul Al Qur’an ?
6. Redaksi sebab Nuzul ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asbabul Nuzul Al-Qur’an
Al-quran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang di dasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalahnya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Quran pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Quran turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan asbabul nuzul.
B. Perhatian Para Ulama Terhadap Asbabun Nuzul
Para penyelidik ilmu-ilmu Quran menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Quran ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Madini, guru Imam bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbabun Nuzul, kemudian al-jabari yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isandnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai Asbabun Nuzul, satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh As-suyuti, tetapi ia tidak dapat menemukan seluruhnya, kemudian As-suyuti yang mengatakan tentang dirinya: dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu belum ada dalam satu kitab pun dapat menyamainya. Kitab ini dinamakan libabul manqul fi asbabin nuzul.
C. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari riwayat Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’yi) tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).[1]
Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama macam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabiin terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan orang harus mengetahui dengan benar asbabun nuzul tersebut. Oleh karena itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.[2] termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti mujahid, Ikrimah dan said bin jubair serta didukung oleh hadis mursal lain.
Al-wahidi telah menetang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh ia pendusta dan mengingatkan mereka atas ancaman berat, dengan mengatakan : sekarang, setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta. Ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat.
D. Definisi Sebab Nuzul
Setelah diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1) Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Quran mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari ibn Abbas, yang mengatakan, ketika turun : dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat, Nabi pergi dan naik ke bukit safa, lalu berseru: wahai kaumku! Maka mereka berkumpul ke dekat nabi. Ia berkata lagi bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang kukatakan? Mereka menjawab: Kami belum pernah melihat engkau berdusta. Dan nabi melanjutkan: Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih. Ketika itu Abu Lahab lalu berkata. Celakalah engkau: apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini? Lalu ia berdiri maka turunlah ayat ini: celakalah kedua tangan Abu Lahab
2) Bila Rasullah ditanya tentang suatu hal, maka turunlah ayat Al-Quran yang mengenai hukum terebut. Hal itu seperti khaulah binti salabah dikenakan zihar oleh suaminya, aus bin samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan hal tersebut. Aisah berkata: maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya. Aku mendear ucapa khaulah binti salabah.sekalipun tidak seluruhnya, ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah katanya: Rasulullah suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesunggauhnya aku mengadu kepadamu. Aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamua tentang suaminya. Yakni aus bin samit. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turunnya setiap ayat, karena tidak semua ayat Al-Qur’an diturunkan karena timbul suatuperistiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Al-Quran yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab mengenai akidah, iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-jabari menyebutkan: Al-Quran ditrunkan dalam dua kategori, yang tirun tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan. Oleh sebab itu, maka Asbabun nuzul di definisikan sebagai sesuatu hal yang karenanya Al-Quran diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hari itu terjadi, baik berupa peristiawa maupun pertanyaan.
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan Asbabun Nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun disaat-saat terjadinya sebab. Ia mengatakan demikian itu karena hendak atau membatalkan apa yang dikatakan oleh wahidi dalam menafsirkan suah Al-Fiil, bahwa sebab turun surat tersebut adlah kisah datangnya orang-orang habsyah. Kisah ini sebenarnya sedikit pun tidak termasuk asbabun nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum nabi Nuh, kaum samud, pembangunan ka’bah dan lain-lain yang serupa itu. Demikian pula mengenai ayat dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangannya, Asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah di ketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk kedalam Asbabun Nuzul
E. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul
Ketika seseorang mengalami kesukaran memahami makna sesuatu ayat al-Quran, ke manakah mereka akan merujuk? Berdasarkan pendapat Ibnu Taimiyah, beliau “mengetahui sebab turunnya ayat-ayat al-Quran akan membantu seseorang itu memahami kandungan makna dan kejelasan maksud ayat-ayat tersebut. Mengetahui asbabun nuzul sangat besar pengaruhnya dalam memahami makna ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam memahami asbabun nuzul, sehingga banyak ulama yang menulis tentang itu. Diantara kitab termasyhur yang membahas tentang asbabun nuzul adalah; Asbabun Nuzul, karya Imam Al-Wahidi, Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul karya Imam Suyuthi. Beberapa faedah mengetahui asbabun nuzul antara lain:
1) Dapat mengetahui hikmah disyari’atkannya hokum. Imam Al-Wahidi mengatakan, ”Tidak mungkin orang bisa mengetahui tafsir suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan penjelasan mengenai turunnya lebih dahulu”.
2) Kekhususan hukum disebabkan oleh sebab tertentu. Ibnu Taimiyyah mengatakan, ”Mengetahui asbabun nuzul sangat membantu untuk memahami ayat. Sesungguhnya dengan mengetahui sebab akan mendapatkan ilmu musabbab”.
3) Mengetahui nama orang, dimana ayat diturunkan berkaitan dengannya, dan pemahaman ayat menjadi lebih jelas.
4) Menghindarkan anggapan menyempitkan dalam memandang hukum yang nampak lahirnya menyempitkan.[3]
F. Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab nuzul ayat ini adalah begini”, atau menggunakn fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan “telah terjadi peristiwa begini”, atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini,m maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk di atas merupakan mernyataan yang jelas tentang sebab. Contoh-contoh untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Bentuk kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: “Ayat ini turun mengenai ini.” Yang dimaksudkan dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini.” Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan yang lain. Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan:
“Ayat istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam (Al Baqarah [2]:223) turun berhubungan dengan menggauli istri dari belakang.”
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Ansar yang pernah ikut dalam Perang Badar bersama Nabi, di hadapan Rasulullah tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengaliri kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Ansar berkata: “Biarkan airnya mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah: “Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.” Orang Ansar itu marah, katanya: Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu.” Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Ansar itu. Ketika Rasulullah marah kepada orang Ansar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair. “Aku tidak mengira ayat berikut turun mengenai urusan tersebut: Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’[4]:65).
Ibn Taimiyah mengatakan: “Ucapan mereka bahwa ‘ayat ini turun mengenai urusan ini’, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya. Para ulama’ berselisih pendapat mengenai ucapna sahabat: ‘Ayat ini hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir daripada sahabat itu sendiri dan bukan musnad? Bukhari memasukkanya ke dalam kategori hadis musnad, sedang yang lain tidak memasukkanya. Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti musnad Ahmad dan yang lain-lain. Berbeda halnya bila sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadis musnad. Zarkasyi dalam Al Burhan menyebutkan: “Telah diketahui dari kebiasaan para sahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: ‘ Ayat ini utrun mengenai urusan ini’, maka yang dimaksudkan ialah bahwa ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukanya urusan itu sebagai sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi.”
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas dapatlah kita tarik kesimpulan bahwasannya al Quran mengandung banyak nilai-nilai kehidupan maka dari itu kita patutlah mempelajarinya. Al Qur’an sebagai mukjizat yang di anugrahkan kepada nabi Muhammad adalah salah satu kitap Allah yang paling sempurna diantara kitap suci yang lain. Al Quran diturunkan kepada nabi Muhammad melalui beberapa cara yang mana dalam penurunan Al-Quran itu sendiri diberikan secara berangsur-angsur atau bertahap. Di dalam penurunan al-Quran terjadi di dua kota pusat Islam pada zaman dahulu, kota itu adalah Mekkah dan Madinah dan dari kedua kota tersebut al Quran memiliki cirri-ciri tersendiri dalam bahasanya karena hal itulah disebut Makkiyah surat Quran yang turun di Mekkah dan Madaniyah surat Quran yang turun di Madinah.
Turunnya al Quran kita kenal dengan istilah nuzulul Quran yang sebagaian orang besar di peringati pada tanggal 17 bulan Ramadhan. Sebagai kalamullah sudah sepantasnya lah kita mencintai,memelihara,mempelajari segala nilai-nilai yang terdapat pada Al-Quran tersebut dengan sebaik mungkin, salah satu wujud bahwa kita mencintai al Quran dengan cara banyak membaca Al-Quraana serta mengamalkan nilai yang ada di dalamnya. Maka untuk itu marilah kita bersama-sama berusaha untuk memahami apa yang terkandung dalam al Quran sebagai kitap suci kita yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
-Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Ilmu-ilmu Al Qur’an”. Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur’an, PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA,2002 Semarang.
[1] Al-wahidi mengatakan : tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab Al-Quran kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.
Muhammad bin sirin mengatakan : ketika kutanyakan kepada Ubaidah mengenai satu ayat Al-Quran. Di jawabnya bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar orang-orang yang mengetahui mengenai apa Al-Quran itu diturunkan telah meninggal.
[2] As-suyuti berpendapat bahwa bial ucapan para tabiin menunjukkan secara jelas bahwa asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabiin itu benar dan itu dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti mujahid, Ikrimah dan said bin jubair serta didukung oleh hadis mursal lain.
[3] Kata Ibnu Jarîr: “Hadis di atas para rawinya adalah rawi shahih”. Pendapat Ibnu Jarîr juga dikuatkan kerajihannya dengan Hadis yang dinisbahkan Ibnu Katsîr dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîmnya(1/323) kepada: “an-Nasâ’î”. Imâm Jalâludin ash-Suyûthî juga menisbahkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya(Bab I, Surat ke-2: al-Baqarah) kepada: “an-Nasâ’î, al-Hakim, al-Bazzâr, ath-Thabrânî dan Ibnu Abî Hâtim”, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbâs. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadî al-Wadi’î juga menisbahkan dalam ash-Shahîh al-Musnad min Asbâb an-Nuzûlnya(Surat al-Baqarah, ayat: 272) kepada: “at-Tirmidzî, al-Haitsamî, adz-Dzahabî dan al-Hâkim”.